Laman

Selasa, 29 Januari 2013

Mengupas Soal Aceng Fikry

PERNIKAHAN SINGKAT BUPATI GARUT
Bisa menjatuhkan cerai kapan saja dan dimana saja, tanpa adanya pertimbangan apapun, mungkin itulah uangkapan yang pantas buat seorang Bupati Aceng Fikry.
Saat ini masyarakat Indonesia telah dihebohkan dengan adanya berita yang sangat kontroversi yaitu, pernikahan singkat yang dilakukan oleh Bupati Garut yang hanya berselang selama empat hari dari pernikahannya.
Beliau menikahi gadis berusia 18 tahun sebut saja Fanny Oktora, beliau menikahinya secara sirih, dan menurut saya, pernikahan itu adalah pernikahan yang sah secara agama akan tetapi tidak sah secara hukum fiqih Indonesia yaitu undang-undang.
Pernikahan adalah perjalanan dua insan yang diikat secara sah menurut syari’at islam, dengan tujuan agar manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah, seseorang menikah itu, karena sudah adanya tekad untuk hidup bersama, dan membina rumah tangga yang bahagia, rukun, dan damai, dengan kata lain mereka mampu untuk saling menghargai dan melengkapi atas kekurangan yang ada pada diri mereka masing-masing. Ironisnya Aceng Fikry mengatakan bahwa dirinya, sejak pertama tidak suka dengan mantan istrinya (fanny oktora), dengan alasan bahwa dirinya menikah dengan fanny oktora adalah karena adanya dorongan dari orang-orang disekitar beliau, dalam hal ini jelaslah kalau ternyata beliau itu menikah hanya untuk mengumbar nafsu syahwatnya saja, dan lebih ironisnya lagi beliau menceraikan fanny oktora dengan alasan bahwa dia sudah tidak perawan lagi. Itulah alasan saya mengungkapkan sebuah kalimat “bisa menjatuhkan cerai kapan saja dan dimana saja, tanpa adanya pertimbangan apapun.” Pada hakikatnya, apa yang dilakukan oleh Aceng Fikry adalah suatu hal yang sangat ironis dan memalukan, karena hal itu tidaklah pantas dilakukan oleh setiap insan, apalagi dilakukan oleh seorang pemimpin, yang secara garis besar masyarakat menaruh harapan pada setiap kepemimpinnya. Mengapa  demikian?
Karena hal tersebut sama saja dengan merendahkan harkat dan martabat perempuan, dengan kata lain, Dia hanya ingin mengumbar nafsu syahwatnya saja, dan itu sama saja dengan  melakukan pelecehan sexsual terhadap kaum hawa, meskipun hal itu hanya diberikan kepada mantan istrinya, fanny oktora.
Hal tersebut dapat kita lihat dari cara sang Bupati menceraikan mantan istrinya, beliau menceraikan mantan istrinya, diusianya yang baru empat hari dari pernikahannya, dan ironisnya beliau mengatakannya hanya melalui pesan singkat, atau yang biasa kita sebut dengan sms, yang mana didalamnya mengandung kata-kata yang sangat tidak pantas untuk diucapkan oleh setiap insan.
Seorang pemimpin seharusnya memberikan contoh yang baik pada anggotanya, bukan mencontohkan hal yang buruk seperti itu, saya yakin beliau itu lebih paham mengenai hukum UU dibanding penulis seperti saya yang hanya sekedar masyarakat awam.
Dalam hal ini MUI telah berfatwa bahwasannya “penikahan siri adalah pernikahan yang rawan dan pernikahan yang tidak tercatat adalah pernikahan yang tidak sah”.
Secara agama, nikah siri adalah sah, akan tetapi di Indonesia juga ada yang namanya fiqih Indonesia, yaitu hukum menurut ajaran islam yang digabung dengan hukum negara, yaitu UU nomor 1 tahun 1974, disini dijelaskan bahwa “orang tidak boleh menikah apabila tidak dicatat”, hal ini termasuk dalam perintah agama islam juga, berarti dalam hal ini pernikahan siri adalah pernikahan terlarang, karena pernikahan ini sangat rawan dengan perceraian dan akhirnya yang menjadi korban adalah perempuan. Dalam UU nomor 9 tahun 1975 juga dijelaskan bahwa setiap perkawinan dalam agama islam harus dilakukan pencatatan dan pencatatan itu dilakukan oleh pegawai pencatat. Sebagai mana yang dimaksud dalam UU nomor 32 tahun 1954. Dan bagi yang telah menikah siri segera daftarkan pernikahan tersebut ke KUA.
Secara garis besar, Aceng fikry sudah melanggar perundang-undangan yang ada, sehingga wajar jika masyarakat meminta Aceng untuk mundur dari jabatannya, karena dengan adanya peristiwa ini maka jelaslah bahwasannyaa dia tidak pantas menjadi seorang pemimpin. karena itu adalah suatu hal yang munkar, dan setiap kemungkaran harus kita cegah, karena jika tidak maka kemungkaran akan merajalela dan akan merusak semuanya.
Wallahu a’lam.

Senin, 28 Januari 2013

Potret Alam

Ketika alam sudah tidak bersahabat!
Jika Allah menghendaki maka tidak akan ada seorang pun yang mampu mencegah bahkan menghentikannya, itulah bahasa takdir yang seharusnya bisa diterima oleh setiap insane sebagaimana mestinya. Namun dalam penerimaannya itu tersirat berbagai rahasia dan hikmah yang amat sangat luar biasa, bagi mereka yang mau mengambil ibrah dari apa yang sudah terjadi.
Saat ini kondisi bangsa kita semakin terpuruk dengan adanya berbagai bencana yang menimpa bangsa kita, ironisnya dari sebuah musibah atau bencana tersebut, kita maupun pemerintah kita, sepertinya enggan untuk mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi, buktinya adalah banjir di Jakarta, dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang, justru semakin bertambah besar, begitu juga dengan yang namanya longsor, sepertinya musibah seperti ini tidak ada habisnya, dan ironisnya lagi, mereka tidak sadar dengan apa yang selama ini mereka lakukan, sehingga dengan begitu mudahnya mereka mengatakan bahwa ini adalah suatu hal yang biasa terjadi. Padahal Allah SWT, sudah menjelaskan dalam firman-Nya yaitu, “Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Sehingga Allah memberikan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar.” (QS. Al-ruum: 41). Dari ayat tersebut, mengandung penegasan Allah, bahwa kerusakan itu terjadi karena perbuatan manusia, dan seharusnya manusia sadar dan mau mengambil ibrah dari apa yang sudah terjadi pada bangsa ini, jika melihat ke belakang berapa banyak, masyarakat kita yang melakukan penebangan liar, berapa banyak masyarakat kita yang membudayakan buang sampah sembarangan, tanpa mereka sadari ternyata mereka sendirilah yang telah menjadikan bangsa kita menjadi buruk, dan yang menjadikan bangsa kita ini semakin terpuruk, ironisnya para pemerintah hanya memikirkan pembangunan proyek, dari pada memikirkan hutan yang semakin gundul dan lingkungan yang semakin tercemar, sehingga tatkala bencana datang, barulah pemerintah memikirkan itu semua, memang benar, yang namanya penyesalan selalu datang belakangan, namun terkadang penyesalan hanya sekedar menyesal, tanpa ada niat untuk mengambil pelajaran, dan itulah yang menyebabkan bangsa kita semakin terpuruk.
Pada dasarnya alam raya ini Allah ciptakan dengan penuh keserasian dan keterkaitan dengan kehidupan manusia, sehingga segala kerusakan yang terjadi pada alam akan memberikan dampak negatif kepada manusia, dan dampak negatif tersebut juga akan dirasakan oleh manusia, seperti banjir, longsor, bahkan sampai pada perubahan iklim seperti kemarau panjang yang saat-saat ini sudah mulai terjadi. Allah SWT, berfirman “Dan apabila ia berpaling untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Al-baqarah: 205). Ayat ini menjelaskan bahwa terjadinya kerusakan adalah di darat dan di lautan, mengapa ayat ini tidak menyebutkan udara, karena dalam ayat ini menyebutkan hal yang nampak saja, dan pada saat itu pengetahuan manusia belum sampai pada angkasa. Dalam hal ini jelaslah bahwa Allah SWT, menciptakan alam raya ini dengan satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kebutuhan manusia, ironisnya, mereka melakukan kegiatan buruk yang sifatnya merusak, sehingga terjadi ke tidak seimbangan dalam system kerja alam. Bagaimana bangsa ini akan menjadi “baldatun tayyibatun”, kalau ternyata kita dan pemimpin bangsa kita, hanya bisa menonton, dan hanya diam terpaku dengan apa yang telah terjadi pada bangsa ini. Ada salah seorang pepatah mengatakan “janganlah banyak bicara tetapi sedikit bekerja, jadilah orang yang banyak bekerja sedikit bicara”. Artinya sudahlah menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk melindungi dan mengayomi umatnya untuk menjadi umat yang selalu mengatakan sami’na wa atho’na, bagimana masyarakat akan mengucapkan sami’na wa atho’na, kalau ternyata pemimipin kita tidak mengayomi dan membimbing bangsanya kearah yang lebih baik, bangsa ini tidak akan bisa berubah menjadi lebih baik kalau bukan dari bangsa itu sendiri yang mau merubahnya. Allah SWT berfirman “ Bagi tiap-tiap seorang ada malaikat penjaganya silih berganti dari hadapannya dan dari belakangnya, yang mengawas dan menjaganya (dari sesuatu bahaya) dengan perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki untuk menimpakan kepada sesuatu kaum bala bencana (disebabkan kesalahan mereka sendiri), maka tiada siapapun yang dapat menolak atau menahan apa yang ditetapkan-Nya itu, dan tidak ada siapapun yang dapat menolong dan melindungi mereka selain dari pada-Nya”. (QS.Ar-Ra’d :11). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa ataupun kaum, sehingga kaum tersebut yang akan merubahnya, manusia sebelumnya adalah sama, sama-sama tidak mengerti, kemudian siapa yang membuat manusia itu mengerti? Yang membuat manusia itu mengerti adalah diri manusia itu sendiri, begitu juga dengan suatu bangsa, begitu juga dengan bencana, allah tidak akan memberikan suatu bencana kepada suatu bangsa atau kaum, melainkan itu adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri. Siapa yang patut untuk disalahkan? Ketika bencana sudah bersemayam dalam kehidupan kita, apa yang kita lakukan? Apakah kita akan menyalahkan pemimpin kita, pemerintah kita ataukah justru kita menyalahkan Allah SWT? Na’udzu billahi min dzalik. Allah SWT, berfirman “Dan apabila Allah menghendaki untuk menimpakan kepada sesuatu kaum bala bencana (disebabkan kesalahan mereka sendiri), maka tiada siapapun yang dapat menolak atau menahan apa yang ditetapkan-Nya itu, dan tidak ada siapapun yang dapat menolong dan melindungi mereka selain dari pada-Nya”. (QS.Ar-Ra’d :11). Artinya Allah SWT, tidak akan memberikan suatu apapun jika kita tidak meminta kepada-Nya, melainkan itu semua adalah disebabkan karena kesalahan diri kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya kita tidak perlu bersu’udzan kepada Allah, melainkan yang harus kita lakukan adalah bermuhasabah diri, mengintrosfeksi diri kita masing-masing, sejauh mana mana kita taat kepada Allah, sejauh mana tingkat keimanan kita kepada Allah, dan mengapa hal ini selalu terjadi dalam kehidupan kita. Jika melihat jauh kedalam, ternyata yang membuat bencana itu adalah diri kita sendiri, yang membuat alam ini marah adalah diri kita sendiri, karena begitu mudahnya kita membuang sampah sembarangan, begitu mudahnya kita menebang pohon sembarangan, dan begitu mudahnya kita melakukan kerusakan di alam raya ini, bahkan begitu mudahnya kita membuang limbah di sumber perairan, yang ternyata selama ini menemani hidup kita. Kalau sudah seperti ini adanya, maka pantaslah jika Allah SWT, memberikan bencana kepada kita, karena pada dasarnya diri kita sendirilah yang meminta dan memanggil bencana tersebut, karenanya dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bias untuk disalahkan, kecuali menyalahkan diri kita sendiri, seharusnya kita sebagai makhluk social, kita seharusnya mampu menjaga keserasian alam kita, dan kita mampu menjaga keterkaitan alam dengan hidup kita, serta mampu untuk melestarikan alam raya ini, karena dengan demikian maka alam raya ini akan menjadi sahabat dalam kedamaian hidup kita Manusia adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang paling sempurna, akan tetapi dari kesempurnaan itu bisa menjadikan diri kita ini hina (sesat) bahkan lebih hina (sesat) dari binatang ternak, mengapa demikian? Manusia mempunyai akal akan tetapi tidak mereka gunakan untuk bertafakur. Bahkam dalam sebuah ayat al-qur’an Allah berfirman “ dan sesungguhnya akan akau jadikan isi neraka jahannam, kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya hatu, akan tetapi tidak digunakan untuk memaahami ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah,dan mereka mempunyai telinga akan tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, mereka sebagai binatang ternak bahkan lebih sesat dari binatang ternak. Mereka itulah orang-orang yang lalai”, (QS. Al-a’raf:179). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah akan menjadikan bahan bakar neraka itu dari golongan jin dan manusia, karena mereka mempunyai hati tidak untuk memahami ayat-ayat Allah, mereka punya mata, tetapi tidak untuk melihat kekuasaan Allah, melainkan ia gunakan untuk mendurhakai Allah seperti halnya untuk bermaksiat, dan mereka punya telinga, tetapi tida ia gunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, dan inilah yang menjadikan manusia itu sama seperti binatang ternak bahkan lebih sesat dari itu. Na’udzu billahi min dzalik. Jika kita memang makhluk yang sempurna, marilah kita sama-sama memuhasabah diri kita atas apa yang sudah kita lakukan pada alam raya ini, sehingga dengan kita bermuhasabah, semoga kita dapat mengambil pelajaran atas apa yang sudah terjadi pada diri kita, khususnya pada bangsa yang tercinta ini, yaitu bangsa Indonesia. Dan mulailah dari diri kita untuk mencoba memelihara dan melestarikan alam Indonesia ini menjadi alam yang asri, damai, dan nyaman, dan menjadikan bangsa Indonesia ini menjadi “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”. Sebagai khalifah dimuka bumi, sudahlah menjadi suatu kewajiban bagi kita selaku umat manusia yang telah Allah ciptakan dalam bentuk yang paling sempurna ini, untuk bias menjaga dan memelihara kelestarian alam ini, agar alam menjadi sahabat dalam kehidupan umat manusia dan isi dari alam tersebut dapat dinikmati oleh semua umat manusia. Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk membuat kerusakan, karena kerusakan itu dapat mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, dan mengakibatkan siksaan terhadap manusia itu sendiri, semakin banyak kerusakan yang dibuat oleh manusia, maka semakin parah pula kerusakan yang akan terjadi pada lingkungan tersebut. Hal seperti ini adalah hal yang tidak dapat kita pungkiri lagi, karena dengan adanya keserasian dan keterikatan tersebut, maka bentuk kerusakan yang kecil maupun yang besar, pasti akan membawa dampak yang buruk pada seluruh bagian alam, termasuk manusia itu sendiri, baik yang merusak maupun yang memberikan izin untuk merusak. Wallahu A’lam Bisshoab.

Mengupas Soal KDRT

Mengapa harus KDRT?
Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal aneh dalam kehidupan kita, melainkan sudah menjadi fenomena sosial diseluruh penjuru lapisan masyarakat, baik dari kelas ekonomi atas maupun kelas ekonomi bawah, pada hakikatnya KDRT adalah sebuah kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi, ironisnya ini tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki melainkan kaum perempuan juga terlibat didalamnya, akan tetapi tidak dapat dipungkiri lagi, kalau pada kenyataannya yang menjadi korban kekerasan adalah perempuan. mengapa hal ini bisa terjadi?
Pada dasarnya KDRT itu terjadi karena hal-hal yang sifatnya sepele, salah satunya adalah factor ekonomi. Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa terjadi karena kurangnya sifat saling mempercayai dan memahami antara dua insan, baik laki-laki maupun perempuan, yang pada hakikatnya persoalan social seperti ini dapat diselesaikan dengan kepala dingin, namun karena sifat egoisme dan anarkismenya yang lebih dominan dalam diri mereka, maka terjadilah kekerasan dalam rumah tangga yang sifatnya aniaya, bahkan sampai pada pembunuhan, disamping itu, KDRT juga terjadi karena dilatar belakangi dengan kurangnya pengetahuan tentang ajaran islam dalam diri mereka, sehingga sangatlah mudah untuk melakukan kekerasan, padahal jika ditinjau lebih jauh ke dalam perjalan Rasulullah saw. Rasulullah Saw, tidak pernah melakukan kekerasan. ketika Beliau dihadapkan dengan suatu masalah dalam keluarganya, Beliau tidak memilih untuk berbicara, melainkan beliau lebih memilih diam dan pergi keluar rumah untuk menyendiri, hampir satu bulan beliau meninggalkan rumah, dan beliau tidur disalah satu ruangan dimasjid, tatkala Rasul sudah merasa tenang, barulah beliau pulang dan membicarakan masalahnya dengan baik dan diselesaikan dengan kepala dingin, yang kemudian berdampak positif, sehingga tidak menimbulkan kekerasan sedikit pun. Sudahlah menjadi hal yang muthlak bagi kita, untuk mencontoh sifat Rasulullah Saw, sebagai uswah dalam kehidupan kita, sehingga jelaslah bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya, justru beliau melarang kepada kaumnya untuk berbuat kekerasan terhadap istri-istri mereka. Bahkan istrinya Aisyah ra, meriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda: yang paling sopan diantara kamu adalah orang yang paling sopan terhadap istrinya”, (Hr. Tirmidzi). Artinya, disini tidak hanya seorang istri yang harus sopan terhadap suaminya, melainkan isteri pun berhak diperlakukan dengan baik dan sopan oleh suaminya.
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an surat Al-baqarah:187 yang artinya “kalian perempuan adalah pakaian bagi kalian laki-laki, dan kalian adalah pakaian bagi mereka”, dalam hal ini dijelaskan bahwa dalam sebuah keluarga, suami adalah tempat berlindung bagi isterinya begitu juga sebaliknya, artinya baik dari suami maupun isteri, mereka sama-sama berkewajiban untuk saling melindungi dan tidak untuk saling mendiskriminasi, apalagi sampai membuat kekerasan, jika ditinjau lebih jauh, ternyata kebanyakan mereka kurang memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi seorang suami dan istri sebagaimana telah tertulis dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sehingga ironis sekali, ketika sebuah keluarga dihadapkan dengan sebuah masalah, kemudian melakukan KDRT, yang pada dasarnya itu semua tidak akan menyelesaikan masalah, justru memperumit masalah, bahkan bisa jadi menimbulkan masalah baru.
 Allah SWT berfirman dalam al-qur’an yang menjelaskan “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Maksudnya adalah, jagalah diri kita dan keluarga kita, dari hal-hal yang dapat menjerumuakan kita ke dalam api neraka, dan kita dianjurkan untuk saling melindungi dan menasehati, bukan untuk saling menyakiti. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwasannya “para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang yang baik diantara kamu. (Hr. Abu Daud, An-Nasa’I dan Ibnu Majah). Betapa islam menghargai perempuan, yang dengan jelas dipaparkan melalui hadits tersebut, bahkan ini tidak hanya buat para suami melainkan buat semua kaum laki-laki.
Ironisnya, dalam situasi seperti ini, terkadang kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh sikorban dengan alasan budaya, agama, dan system hukum yang belun dipahami oleh para korban, padahal perlindungan oleh Negara dan masyarakat bertujuan untuk memberikan rasa aman terhadap korban dan menindak siapa yang menjadi pelakunya. Namun dalam menindak sipelaku kekerasan, negara belum bisa memberikan sanksi yang berat terhadap sipelaku, sehingga tidak sanksi tersebut tidak memberikan efek jera terhadap para pelaku kekerasan. Mungkin itulah factor yang kadang menjadikan kasus KDRT sebagai persoalan yang biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga dan kebanyakan mereka berasumsi bahwa persoalan ini adalah sebagai bumbu-bumbu cinta dalam sebuah rangga, padahal yang namanya bumbu, itu untuk membuat sesuatu menjadi nikmat, bukannya menjadi laknat, dan pada kenyataanya, itu semua tidaklah benar, bahkan tanpa kita sadari, hal seperti ini justru membawa dampak yang sangat buruk pada proses perkembangan anak-anak, terutama dalam hal pembentukam karakter dan watak anak-anak kita, mengapa demikian? Karena pada hakikatnya, setiap anak yang dibesarkan dalam sebuah tindak kekerasan, maka akan menjadi pelaku kekerasan dikemudian hari, karena pada dasarnya, perilaku anak-anak dibentuk oleh 3 faktor, yaitu lingkungan keluarga, teman bergaul, dan lingkunga sekitar, tatkala ketiga lingkungan itu baik maka yang terbentuk dalam karakter dan wataknya adalah baik, egijuga sebalikna. Ironisnya para orang tua, tidak memperdulikan apa yang ada disekeliling mereka, bahkan dengan mudahnya mereka melakukakan kekerasan didepan anak-anak mereka, yang pada dasarnya perilaku anak-anak berada dalam proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan teori modeling, yang mana teori itu adalah teori dimana anak-anak akan menirukan apa saja yang para orang tua lakukan saat itu, meskipun pembentukannya berada dalam jangka waktu yang lumayan panjang.
Lantas seperti apakah yang mendasari kebahagiaan dalam rumah tangga? Kebahagiaan dalam rumah tangga yang baik, hanya dapat didirikan diatas nilai-nilai kemanusiaan yang tertanam dalam diri mereka masing-masing, baik dari suami maupun dari istri, apabila sudah tertanam dengan kuat dalam sanubari keduanya, maka mereka akan dapat masuk kedalam wilayah lahir dan bathin “ Hak dan Kewajiban Perempuan, hal:76”. Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan pasangan suami isteri yang mempunyai derajat kepandaian dan pendidikan tinggi yang sama, namun mereka tidak saling memahami, meskipun sudah mereka coba, hal ini karena perbedaan watak dan karakteristik yang ada pada dua insane tersebut. Dalam mempertahankan suatu hubungan tersebut, yang paling dibutuhkan adalah sifat saling percaya, saling pengertian, dan saling menghargai. Jika hal ini sudah ada dalam diri meeeka maing-masing, maka mudahlah bagi mereka untuk melakukan semua aktifitas dengan tenang. Jika tidak, maka yang timbul adalah sifat saling cemburu, yang kadang-kadang berlebihan, apalagi kalau sudah diselimuti dengan rasa curiga yang berlebihan, maka yang timbul adalah hilangnya take control pada diri mereka, sehingga terkadang sang suami melarang istrinya untuk beraktifitas diluar sana, karena dalam dirinya telah tersirat perasaan yang suram, seperti rasa takut kehilangan dan takut diambil orang lain, kalau sudah begini adanya, maka seorang istri akan kurang bergaul dan berbaur dengan masyarakat sekitar, padahal dalam hidup bermasyarakat kita perlu yang namanya interaksi social, hal seperti inilah yang memberikan dampak yang buruk terhadap ikatan perkawinan setiap insan. Karena sifat seorang suami yang sangat pencemburu, bias menjadi pemicu dalam sebuah perceraian bahkan sampaipada kekerasan dalam rumah tangga. Lantas sikap yang seperti apakah yang harus diambil oleh seorang istri?
Tatkala seorang istri melihat suaminya yang melakukan nusyuz, seperti tidak memenuhi kewajiban terhadap dirinya, maka sikap yang harus diambil oleh seorang istri adalah melakukan musyawarah, yaitu dengan mempertemukan salah satu keluarga diantara mereka dan membicarakannya dengan baik, apabila dengan cara seperti ini tidak bisa, maka istri dapat mengadukannya kepada hakim untuk dinasihati, bila tidak dapat dinasihati hakim dapat melarang istri untuk tidak taat pada suami, bahkan hakim bisa memutuskan untuk pisah ranjang, akan tetapi suami tetap berkewajiban terhadap istrinya dalam hal memberi nafkah.
 Disinilah nilai-nilai islamiyah nampak begitu indah. Mungkin itulah mengapa islam mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk bisa berta’aruf terlebih dahulu sebelum menikah, karena dengan ta’aruf kita akan saling mengenal dan memahami, tidak hanya dari sebuah nama, akan tetapi lebih dari itu semua, yaitu mengenal watak dan karakteristik mereka yang berbeda dengan kita. Sehingga ketika kita sudah bisa memahami perbedaan diantara keduanya , maka akan terjalin hubungan yang harmonis dan terciptalah yang namanya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Islam tidak membenarkan seorang suami melakukan perbuatan yang kejam terhadap istrinya, baik secara lahir maupun bathin, karena pada dasarnya islam mempunyai prinsipil, seperti nilai-nilai egilatarian, keadilan, dan kemanusiaan. Wallahu A’lam