Laman

Minggu, 06 April 2014

Periode Arab Pra Islam



MAKALAH
Sejarah Arab Para Islam
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam






 













Disusun  Oleh
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada  Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingg akhir zaman, Amiin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini, sehingga penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.
















DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB I PEMBAHASAN
2.1. Silsilah Bangsa Arab Pra islam
2.2. Peradaban Arab Pra Islam
2.3. Kondisi Bangsa Arab Pra Islam
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA










BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sejarah perkembangan masyarakat bangsa arab dalam kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam. Bangsa arab adalah suatu bangsa yang diasuh dan dibesarkan oleh Islam dan sebaliknya islam didukung dan dikembangluaskan oleh bangsa arab.
Konteks kenyataan inilah yang menarik untuk mengetahui keadaan bangsa arab pra-Islam itu yang berkaitan dengan aspek-aspek perjalanan sejarah mereka, seperti keadaan geografis jazirah arab itu, asal-usul, cara hidup penduduk, jenis-jenis bangsa arab, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, dan sesebagainya.
Mengenai sejarah dan kebudayaan Islam menurut para ahli-ahli sejarah barat maupun timur diawali dengan uraian tentang sejarah bangsa arab pra-Islam. Hal ini memang terasa sangat relevan, mengingat negeri dan bangsa arab adalah yang pertama kali mengenal dan menerima Islam. Hal tersebut merupakan suatu fakta bahwa agama Islam di turunkan di Jazirah Arab, karena itu sudah barang tentu bangsa arablah yang pertama kali mendengar, menghayati dan mengenal Islam.
Oleh sebab itu terasa penting untuk mengetahui keadaan masyarakat arab pra-Islam bagi penelaahan sejarah kebudayaan Islam dalam hal ini adalah sejarah kelahiran Islam dan kondisi masyarakat arab pra-Islam, yang lazim disebut “zaman jahiliyyah”.

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.           Bagaimana silsilah bangsa Arab Pra Islam?
1.2.2.           Bagaimana peradaban bangsa Arab Pra Islam?
1.2.3.           Bagaimana kondisi masyarakat pada saat itu?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1.           Tujuan Umum.
1.  Untuk memenuhi tugas kuliah
1.3.2.           Tujuan khusus
1.      Untuk mengetahui bagaimana silsilah bangsa Arab pada saat itu
2.      Untuk mengetahui bagaiman kondisi Arab pada saat itu


BAB II PEMBAHASAN

2.1.       Silsilah Bangsa Arab Pra-Islam
Bangsa  Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah,  mereka termasuk  ras atau rumpun bangsa caucasoid, dalam subras meiteranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armmenia, Arabia, dan Irania.[1]
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan bangsa Arab dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa dipadang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab. Padang rumput diperlukan oleh bangsa Arab yang disebut juga Badawi, Badawah, Badui, untuk menggembalakan ternak mereka berupa domba, unta, dan kuda sebagai binatang unggulannya. Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka. Wilayah Arab ini subur dalam menghasilkan bahan perminyakan.
Para penulis klasik membagi negeri itu menjadi Arab Felix, Arab Petra, dan Arab Gurun, ini didasarkan atas pembagian wilayah itu kedalam tiga kekuatan politik pada abad pertama masehi yakni kawasan yang secara nominal berada dalam kendali persia. Arab Felix meliputi bagian semenanjung Arab, yang kondisinya tidak banyak diketahui. Arab Petra (gunung batu) berpusat didataran Sinai dan kerajaan Nabasia dengan ibukota petra. Arab gurun meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotania (badiyah).
Ungkapan orang-orang Arab pertama kali digunakan dalam literatur Yunani oleh Aeschylus (525-456 S:M) yang merujuk pada para perwira tinggi Arab yang ikut dalam barisan angkatan perang Xerxes. Semenanjung Arab adalah sebuah negeri yang sangat makmur dan mewah. Arab merupakan negeri tempat tumbuhnya tanaman penghasil wewangian dan rempah-rempah lainnya. Ciri bangsa Arab yang paling memikat para penulis barat ialah ciri yang terakhir (terutama minyak, pen). Watak orang-orang Arab yang independen telah menjadi bahan pujian dan kekaguman para penulis Eropa sejak masa lalu hingga saat ini. Itulah asal-usul bangsa Arab yang memiliki ciri karakteristik yang unik dan istimewa.[2]
Wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah Arab padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah disekitar jazirah. Jazirah Arab merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar yakni bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang hanya adalah lembah-lembah berair dimusim hujan. Sebagian besar daerah jazirah Arab adalah padang pasir sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda. Karena itu, ia di bagi menjadi tiga bagian yaitu:[3]
1.        Sahara langit, memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga sahara Nufud.
2.        Sahara Selatan, yang membentang menyambung sahara langit ke arah timur sampai selatan persia.
3.        Sahara Harrat, suat daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar.
Penduduk Sahara minoritas terdiri atas suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka yaitu kambing dan unta. Adapun daerah pesisir bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi jazirah.
Bila di lihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Qahthan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail dan Ibrahim).
Masyarakat baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Bebrapa kelompok kabilah membentuk suku (trile) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang. Oleh karena itu, peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan bangsa Arab tidak berkembang. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama islam.[4]

2.2.        Peradaban Arab Pra Islam
Peradaban Arab adalah akibat pengaruh dari budaya bangsa-bangsa di sekitarnya yang lebih dahulu maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. Pengaruh itu masuk ke jazirah Arab melalui beberapa jalur yang terpenting di antaranya adalah :
1.        Melalui hubungan dagang dengan bangsa lain.
2.        Melalui kerajaan-kerajaan protektorat, hirah, dan ghassan.
3.        Masuknya misi yahudi dan kristen.[5]
Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa Siria, Persia, Habsyim Mesir (Qibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme. Penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting di antaranya adalah Yatsrib.
Walaupun agama yahudi dan kristen sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka yaitu percaya pada banyak dewa, yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung.
Orang-orang Arab adalah orang yang bangga, tetapi sensitif. Kebanggaan itu disebabkan bahwa bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal; kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia. Beberapa sifat lain bangsa Arab pra-islam adalah sebagai berikut:[6]
1.        Secara fisik, mereka lebih sempurna dibanding orang-orang eropa dalam berbagai organ tubuh.
2.        Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi.
3.        Faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
4.        Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku atau clan.
5.        Tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
6.        Posisi wanita tidak lebih baik dari binatang, wanita dianggap barang-barang dan hewan ternak yang tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami sebagai raja dan penguasa.
Dalam bidang hukum, Musthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok, menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di antaranya :
1.        Istibadha, yaitu  seorang suami meminta kepada isterinya untuk berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kemuliaan tertentu.
2.        Poliandri, yaitu seorang perempuan berjimak dengan beberapa laki-laki, ketika perempuan itu hamil, maka ia akan mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya dan perempuan itu akan menunjuk salah satunya untuk menjadi bapak, dan pihak laki-laki tidak boleh menolak.
3.        Maqthu’, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya, setelah bapaknya meninggal. Jika anak itu ingin mengawini ibu tirinya maka anak itu wajib melempar kain kepada ibu tirinya, sebagai tanda bahwa ia menginginkannya, dan ibu tirinya tidak punya kewenangan untuk menolak.
4.        Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu, dengan tujuan untuk memuaskan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.        Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan kepada seorang laki-laki tanpa mahar.
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Ghumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam sebagai berikut :
1.        Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak).
2.        Prostitusi, biasanya dilakukan kepada para pendatang atau tamu di tenda-tenda denga cara mengibarkan bendera sebagai tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih antara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak dari anak yang dikandung.
3.        Mut’ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam meskipun pada awalnya, Nabi Muhammad SAW membiarkannya tapi selanjutnya melarangnya. Hanya kelompok syiah itsna ‘ashari yang mengijinkan perkawinan tersebut.
Anderson menambahkan pula bahwa di Arab pada jaman pra-islam, tampaknya telah ada berbagai macam corak perkawinan boleh jadi mulai dari perkawinan patrilineal dan patrilokal sampai pada perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk juga apa yang dikenal sebagai perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senang (mut’ah).
Dalam kasus lain, anderson menguraikan bahwa bangsa Arab sebelum islam, sebagaimana orang badui di Arab sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan dan bersifat patriakal. Diluar suku, tidak ada jaminan keamanan, selain hukum. Pertumpahan darah yang tidak tertulis berdasarkan hukum ini, seseorang harus dibela oleh sanak keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang anggota suku lain, sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh, jika mereka tidak menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan tebusan darah, berupa sejumlah uang imbalan untuk diberikan kepada “ahli waris”. Oleh karena itu, wajarlah bila keturunan terdekat dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta milik seseorang pada saat dia meninggal, sedangkan para wanita, sanak keluarga jauh dan anak-anak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu.
Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kondisi sosial Arab meskipun cenderung primitif, memiliki nilai peradaban yang tinggi bahkan menjadi istilah goldziher, meskipun bangsa Arab cenderung barbarisme, bukan jahiliyah (bodoh, dungu dan awam).[7]
3.3.        Kondisi Bangsa Arab Pra-Islam
Kondisi Arab Pra-Islam dilihat dalam beberapa aspek diantaranya:  Sosial Budaya, Agama, Ekonomi, dan Politik.
1.        Agama Arab Pra Islam
Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam, wathan, nuṣub, dan ḥubal.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”.
2.        Kondisi Ekonomi
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir.
Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya.
3.        Kondisi Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab.
Negeri Yaman misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan pemerintahan yang terbesar adalah masa pemerintahan Tababi’ah dari kabilah Himyar. Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan bangsa Arab yang murni dan merdeka.



4.        Kondisi Ilmu pengetahuan
Disamping itu, bangsa Arab sebelum islam juga telah mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu. Di antara ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan adalah astronomi, yang ditemukan oleh orang-orang Babilonia. Mereka Ini Pindah Ke Negeri Arab pada waktu  Negara mereka diserang oleh bangsa Persia. Dari mereka inilah bangsa Arab belajar banyak ilmu pengetahuan.
Selain itu bangsa arab sebelum lahirnya agama islam telah mampu mengembangkan ilmu meteorology atau ilmu iklim, astrologi atau ilmu perbintangan. Pada awalnya ilmu ini dipergunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya suatu peristiwa, seperti perang, damai dan sebagagainya, yang didasarkan pada bintang-bintang. Ilmu tenung yang banyak disukai masyarakat Arab, berasal dari orang-orang Kaldam yang bermigrasi ke tanah Arab. Disamping itu masyarakat Arab sebelum Islam juga telah memiliki pengetahuan tentang cara pengobatan penyakit, yang disebut Al-Thahib. Ilmu ini juga berasal dari orang-orang Kaldam yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh masyarakat Arab.
5.        Kondisi Bahasa dan Seni Sastra
            Sekalipun wilayahnya luas, berhauhan wilayahnya dan beragam suku-sukunya, bahasa tetap satu. Alat untuk saling memahami dan mempertemukan penduduk jazirah ini, baik yang menetap maupun yang nomaden, baik yang yang Qathaniyah maupun yang ‘Adnaniyah, adalah bahasa Arab dalam berbagai dialek dan wilayahnya, yang dituntut oleh watak dan filsafat bahasanya, dan dituntut oleh ciri local dan cuaca, ciri penyebaran dan perkumpulannya.   
            Dalam bidang bahasa dan seni sastra, orang-orang Arab pada masa pra islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan kaya. Syair-syair mereka sangat banyak. Dalam lingkungan mereka seorang penyair sangat dihormati. Tiap tahun di pasar Ukaz diadakan deklamasi sajak yang sangat luas.
            Khitabah sangat maju, dan inilah satu-satunya alat publisistik yang amat luas lapangannya. Disamping sebagai penyair, orang-orang arab jahiliyah juga sangat faasih berpidato dengan bahasa yang indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat derajat tinggi seperti penyair.
            Salah satu kelaziman dalam masyarakat arab jahiliyah adalah mengadakan majelis atau nadwah sebagai sarana untuk mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan lain sebagainya.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomade, hal ini karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan bangsa Arab dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa dipadang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab.
Walaupun demikian, kondisi sosial Arab yang cenderung primitif, ternyata memiliki nilai peradaban yang tinggi bahkan menjadi istilah goldziher, meskipun bangsa Arab cenderung barbarisme, bukan jahiliyah (bodoh, dungu dan awam).
3.2. Saran
Semoga apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada temen-teman mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan apa yang sudah penulis paparkan. Kami sangat mengharapkan kritik maupun sarannya dari teman-teman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang kami susun ini bisa bermanfaat untuk kita semua.


















DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983


[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) halaman 47
[2] Ibid, halaman 49
[3] Ibid halaman 49
[4]A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1983) halama 29
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit. halaman 54
[6] Ibid, halaman 55
[7] Ibid, halaman 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar