Laman

Minggu, 06 April 2014

Study Hadits



MAKALAH
Ilmu Hadits Terkait Dengan Sanad
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Study Hadits

















Disusun  Oleh
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada  Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingg akhir zaman, Amiin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini, sehingga penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.













DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB I PEMBAHASAN
2.1. Sanad
A.    Pengertian Sanad
2.2. Ilmu Rijal al-Hadits
A.    Pengertian Ilmu Rijal al-Hadits
B.     Perbedaan Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Thabaqat, dan Ilmu Jarh wa a-Ta’dil
C.     Keadilan Sahabat
2.3. Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil
A.    Pengertian Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
B.     Kaidah Jarh Wa at-Ta’dil
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA







BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Ilmu hadits merupakan suatu sarana untuk memahami dan mendalami hadits yang berasal dari Nabi saw,  sehingga akan diperoleh satu pemahaman yang benar tentang hadits
tersebut, baik dari segi dalalah, hikmh yang dikandung, serta derajat ke-shahih-annya. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya. Selain itu, hadits juga merupakan sumber hukum kedua setelah Al-qur’an. Dalam hadits ada dua unsur yang paling mendasar, yaitu sanad dan matan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sanad?
2. Apa pengertian dari Rijal al-Hadits, dan bagaimana menilai keadilan sahabat?
3. Apa pengertian Jarh wa at-Ta’dil
4. Apa pengertian dari Jadal, dan apa saja bentuknya?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1.           Tujuan Umum.
1.  Untuk memenuhi tugas kuliah
1.3.2.           Tujuan khusus
1.  Mengetahui definisi Sanad.
2.  Mengetahui definisi Rijal al-Hadits, dan mengetahui keadilan para Sahabat.
3.  Mengetahui definisi Jarh wa at-Ta’dil, begitu juga dengan kaidah-kaidahnya.











BAB II PEMBAHASAN

2.1. Sanad
A.      Pengertian Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu yang dipegangi atau yyang bia dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan:
 مَارَتْفَعَ مِنَ الْاَرْضِ
Yaitu sesuatu yang terangkat dari tanah.
Secara terminologis, sanad ialah: 
هُوَ طَرِيْقُ الْمَتَنِ, أَيْ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ  الَّذِيْنَ نَقْلُوْاالْمَتَنَ مِنْ مَصْدَرِهِ الْأَوَّلِ
Sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.
Dalam bidang ilmu hadits, sanad merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dla’if-nya suatu hadits. Jika salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau tertuduh dusta, maka kedudukan hadits itu adalah dhaif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.[1]
Selain istilah sanad, terdapat istilah lainnya, yaitu seperti isnad, al-musnad, dan al-musnid. Istilah tersebut mempunyai erat kaitannya dengan istilah sanad.
Istilh al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah:
رفع الحديث الى قا ئله او فا عله
Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (Hasbi Ash-Shiddiqi,1985,43).
Atau:
     عَزْوُالْحَدِيْثِ اِلَى قَائِلِهِ
 Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya.
Menurut Ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi, menurutnya bahwa ulama muhadditsin memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya dapat dipakai secara bergantian.

Berbeda dengan istilah al-isnad, istilah al-musnad mempunyai beberapa arti, yaitu;
a.         Hadits yang diriwayatkan dan disandarkan kepada orang yang membawanya, seperti Syihab az-Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah binti Abd Ar-Rahman.
b.         Nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad.[2]
Dalam Ilmu Rijal al-Hadits, kata sanad secara sederhana diartikan  sebagai mata rantai rawi yang merupakan transmisi yang digunakan dalam periwayatan matan. Sementara itu, kata ‘isnad’ dimaknai mengangkat hadis (ucapan/informasi) sehingga sampai kepada pengucapnya (narasumber). Ahli hadis sering menggunakan kedua istilah tersebut untuk maksud yang sama, yakni silsilah al-rijal (rangkaian periwayat hadis) yang dapat menghubungkan kepada matan hadis.
Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad antara lain:[3]
a.    Ilmu Rijalil Hadits
b.    Ilmu Thabaqatir Ruwah
c.     Tarikh Rijalil Hadits
d.    Ilmu Jarh wa Ta’dil
2.2. Rijal al-Hadits
A.      Pengertian Rijal al-Hadits
Secara bahasa, kata Rijal al-Hadits berarti orang-orang di sekitar hadits, sehingga kata ‘Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu tentang orang-orang disekitar hadits.
Secara terminologis, Ilmu Rijal al-Hadits, ialah:
 عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ اَحْوَالِ الرُّوَاةِ وَ سِيَرِهِمْ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَاَتْبَاعِ التَّابِعِيْنَ  
Ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.[4]
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam ilmu hadits, hal ini karena ada dua objek kajian hadits yang mendasar, yaitu matan dan sanad. Akan tetapi ilmu rijal al-hadits hanya memberikan pengertian khusus terhadap persoalan-persoalan sanad.
Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah al-Bukhari, ‘Izzad bin Ibnu Al-Atsir atau yang lebih dikenal sebutan Ibn al-Atsir(630 H), ulama abad ke-7 H, yang berhasil menyusun kitab Usdu al-Ghabah fi Asma ash-Shahabah.[5] Kitab ini memuat uraian tentang para sahabat Nabi saw, atau rijal al-hadits pada thabaqah pertama, meskipun didalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.

B.       Perbedaan Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarikh Rijal, Ilmu Thabaqat, dan Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
a.         Ilmu sejarah perawi adalah ilmu yang membahas tentang hari kelahiran dan wafat perawi.
b.         Ilmu thabaqat ialah ilmu yang membahas tentang orang-orang berserikat dalam suatu urusan (orang-orang yang semasa).
c.         Ilmu Jarh wa at-Ta’dil ialah ilmu yang dengannyadapat kita ketahui siapa yang diterima dan ditolak dari perawi-perawi hadits.
C.   Keadilan Sahabat
Keadilan dalam hal ini adalah keadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian. Jumhur ulama berpendapat, bahwa seluruh itu adalah adil, baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat.[6]
Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain, yaitu ada yang adil dan ada pula yang tidak adil. Golongan Mu’tazilah mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil selain mereka yang terlibat pada pemdunuhan Khalifah Ali r.a. Imam An-Nawawy mengatakan, bahwa pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’. Oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan penyelidikan keadilan sahabat, pendapat yng membedakan apakah terlibat dalam fitnah pembunuhan atau tidak,  itu tidak perlu diperhatikan. Sebaiknya adalah berkhusnudhdhan kepada mereka, agar terhindar dari dosa.
2.3.  Al-Jarh Wa At-Ta’dil
A. Pengertian Jarh  wa at-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh berarti cacat atau luka, dan kata at-ta’dil berarti mengendalikan atau menyamakan, sehingga kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologis, ada ulama yang mendefinisikan secara terpisah antara al-jarh dan at-ta’dil, namun ada juga yang mendefinisikannya secara bersamaan.
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan:
اَلْجَرْحُ عِنْدَالْمُحَدِّثِيْنَ الطَّعْنُ فِى رَاوِى الحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يُحِلُّ بَعْدَالَتِهِ أَوْ ضَبْتِهِ
Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan  keadilannya atau kedhabitannya.
Sedangkan At-ta’dil secara bahas berarti at-taswiyah (menyamakan), sedangkan menurut istilah berarti:[7]
وَالتَّعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَةُ الرَّاوِى وَالْحُكْمَ عَلَي بِاَنِّهِ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ
Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang  rawi dan menghukumnya bahwa dia adil atau dhabith.
Ulama ulama lain mendefinisikan Al-jarh dan At-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمُ يُبْحَثُ  عَنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَفِي شَاَنِّهِمْ مِمَّا يَشْنِهِمْ أَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
Ilmu yang membahas tentang para rawi hadits dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat  mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafal tertentu.
Ilmu Jarh Wa At-ta’dil tumbuh seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits, hal ini bertujuan untuk mengetahui hadits shahih dan keadaan para perawinya, sehingga ilmu ini mampu menetapkan kebenaran atau kedustaan seorang rawi sampai mereka dapat membedakan antara yang diterima dan yang ditolak.
Seorang perawi dapat diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang dampaknya tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut, antara lain:[8]
a.         Dusta
Dusta dalam hal ini ialah orang tersebut pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberapa hadis. Dalam pengertian, seorang perawi berbuat dusta terhadap Rasulullah saw, seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, terkecuali dia sudah bertobat.
Dalam menetapkan kepalsuan hadits yang diriwayatkan oleh yang pernah berdusta adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan berdasarkan sangkaan. Dalam masalah ini para ulama berpendapat. Menurut imam Ahmad Abu Bakar al-Humaidi, guru imam al-Bukhari, riwayatnya tidak dapat diterima, meskipun sudah berbuat. Pendapat ini dikutip oleh Mudhaafar Al-Sam’any, sedangkan An-Nawawi men-naskh-kan atau menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.
b.        Tertuduh berbuat dusta
Tertuduh berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar dikalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta, periwayatan orang yang tertuduh dapat diterima, apabila ia betul-betul bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh sebagai pendusta.
c.         Fasik
Fasik yang dimaksud dalam hal ini ialah fasik yang dalam perbuatannya tampak secara lahiriah, bukan dalam hal i-tiqaiyah, nama periwayatannya tetap ditolak, sedangkan menurut A. Qadir Hassan dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, beliau menguraikan, bahwa yang dimaksud fasik adalah orang yang melakukukan dosa-dosa besar dan ma’shiat-ma’shiat besar.[9]
d.        Jahalah
Jahalah adalah orang (perawi) yang tidak diketahui identitasnya, dan ini menjadi sebuah alasan untuk tidak diterimanya periwayatan, kecuali dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menunjukan kepada kepercayaan, sseperti dengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlu, dan sebagainya.
e.         Ahli bid’ah
Ahli bid’ah yaitu perawi yang melakukan bid’ah dalam hal i’tiqad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak. Orang yang disifati bid’ah adakalanya tergolong orang yang mengkafirkan dan memfasikkan. Bid’ah yang mengkafirkan itu haruslah bid’ah yang disepakati oleh semua imam,  seperti bid’ah orang-orang rafidhy (pengikut rafidhah) yang mengatakan bahwa ketuhanan menyusup (bersatu) dalam diri sayyidina Ali, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali ke dunia sebelum hari kiamat. Bid’ah yang memfasikkan adakalanya sebagai bid’ah yang menyalahi dasar-dasar sunnah.[10]
Menurut Fatchur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Mushtahalul Hadits, beliau mengatakan, bahwa orang yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyi i’tiqad berlawanan dengan dasar syari’at.
B. Kaidah Jarh Wa At-Ta’dil
Kaidah Jarh Wa At-Ta’dil ada dua macam, yaitu:
a.         Naqdun kharijiyyun, yaitu kritik yang datang dari luar hadits, atau kritik ekstrensik (kritik yang yang tidak mengenai isi hadits ). Hal ini berdasarkan kepada cara periwayatan, sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan mereka.
b.        Naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits atau kritik intrinsik. Hal  ini berpautan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya  shahih, atau karena tidak ada jalan keshahihannya, dan apakah karena  ketiadaan keshahihannya.


















BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.   Sanad merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dla’if-nya suatu hadits. Jika salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau tertuduh dusta, maka kedudukan hadits itu adalah dhaif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
2.   Cabang yang berpangkal pada sanad ada empat, yaitu;
a. Ilmu Rijal al-Hadits
b. Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil
c. Ilmu Thabaqat
d. Ilmu Tarikh Rijal
3.2. Saran
Semoga apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada temen-teman mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan apa yang sudah penulis paparkan. Kami sangat mengharapkan kritik maupun sarannya dari teman-teman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang kami susun ini bisa bermanfaat untuk kita semua.



















DAFTAR PUSTAKA


Teungku Muhammad Hasbie ash-Shiedieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Rizki Putra, Semarang, 2002
A.      Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Diponegoro, Bandung, 2007
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, AL-Ma’arif, Bandung, 1974
Sahroni Sohari, Ulumul Hadits, Galia Indonesia, Bandung, 2010


[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: Al-Ma’arif, 1974) halaman 41
[2] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) halaman 131
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Op. Cit. halaman 77
[4] Ibid, halaman 280
[5] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, Op. Cit. Halaman 76
[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Op. Cit. Halaman 285
[7] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, Loc. Cit. Halaman 76
[8] Ibid, halaman 152
[9] A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007) halaman 453
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009) halaman 280

Tidak ada komentar:

Posting Komentar