MAKALAH
Ilmu Hadits Terkait Dengan Sanad
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Study Hadits
Disusun Oleh
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji
syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingg akhir zaman,
Amiin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik
dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya
pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini, sehingga
penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri
dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang
sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB
I PEMBAHASAN
2.1. Sanad
A.
Pengertian
Sanad
2.2. Ilmu Rijal al-Hadits
A.
Pengertian
Ilmu Rijal al-Hadits
B.
Perbedaan
Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Thabaqat, dan Ilmu Jarh wa a-Ta’dil
C.
Keadilan
Sahabat
2.3. Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil
A.
Pengertian
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
B.
Kaidah
Jarh Wa at-Ta’dil
BAB
III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
3.2.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu
hadits merupakan suatu sarana untuk memahami dan mendalami hadits yang berasal
dari Nabi saw, sehingga akan diperoleh
satu pemahaman yang benar tentang hadits
tersebut, baik dari segi dalalah,
hikmh yang dikandung, serta derajat ke-shahih-annya. Sebagaimana telah
kita ketahui, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi,
baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya. Selain itu, hadits
juga merupakan sumber hukum kedua setelah Al-qur’an. Dalam hadits ada dua unsur
yang paling mendasar, yaitu sanad dan matan.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sanad?
2. Apa pengertian dari Rijal
al-Hadits, dan bagaimana menilai keadilan sahabat?
3. Apa pengertian Jarh wa at-Ta’dil
4. Apa pengertian dari Jadal, dan
apa saja bentuknya?
1.3.
Tujuan Penulisan
1.3.1.
Tujuan
Umum.
1.
Untuk
memenuhi tugas kuliah
1.3.2.
Tujuan
khusus
1.
Mengetahui
definisi Sanad.
2.
Mengetahui
definisi Rijal al-Hadits, dan mengetahui keadilan para Sahabat.
3.
Mengetahui
definisi Jarh wa at-Ta’dil, begitu juga dengan kaidah-kaidahnya.
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Sanad
A.
Pengertian
Sanad
Sanad secara bahasa
berarti al-mu’tamad, yaitu yang dipegangi atau yyang bia dijadikan
pegangan atau dapat juga diartikan:
مَارَتْفَعَ
مِنَ الْاَرْضِ
Yaitu
sesuatu yang terangkat dari tanah.
Secara terminologis, sanad ialah:
هُوَ طَرِيْقُ الْمَتَنِ, أَيْ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ نَقْلُوْاالْمَتَنَ مِنْ مَصْدَرِهِ
الْأَوَّلِ
Sanad
adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan
(meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.
Dalam bidang ilmu hadits, sanad merupakan neraca untuk menimbang shahih
atau dla’if-nya suatu hadits. Jika salah seorang dalam sanad-sanad itu
ada yang fasik atau tertuduh dusta, maka kedudukan hadits itu adalah dhaif,
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.[1]
Selain istilah sanad, terdapat istilah lainnya, yaitu
seperti isnad, al-musnad, dan al-musnid. Istilah tersebut mempunyai erat
kaitannya dengan istilah sanad.
Istilh al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan
ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah:
رفع الحديث الى قا ئله او فا عله
Menyandarkan
hadits kepada orang yang mengatakannya (Hasbi Ash-Shiddiqi,1985,43).
Atau:
عَزْوُالْحَدِيْثِ اِلَى قَائِلِهِ
Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya.
Menurut Ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-isnad
dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn
jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi, menurutnya bahwa ulama muhadditsin
memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya
dapat dipakai secara bergantian.
Berbeda
dengan istilah al-isnad, istilah al-musnad mempunyai beberapa
arti, yaitu;
a.
Hadits
yang diriwayatkan dan disandarkan kepada orang yang membawanya, seperti Syihab
az-Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah binti Abd Ar-Rahman.
b.
Nama
suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan
nama-nama para sahabat perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad.[2]
Dalam
Ilmu Rijal al-Hadits, kata sanad secara sederhana diartikan sebagai mata rantai rawi yang merupakan
transmisi yang digunakan dalam periwayatan matan. Sementara itu, kata ‘isnad’
dimaknai mengangkat hadis (ucapan/informasi) sehingga sampai kepada pengucapnya
(narasumber). Ahli hadis sering menggunakan kedua istilah tersebut untuk maksud
yang sama, yakni silsilah al-rijal (rangkaian periwayat hadis) yang
dapat menghubungkan kepada matan hadis.
Cabang-cabang yang
berpangkal pada sanad antara lain:[3]
a. Ilmu Rijalil Hadits
b. Ilmu Thabaqatir Ruwah
c. Tarikh Rijalil Hadits
d. Ilmu Jarh wa Ta’dil
2.2. Rijal al-Hadits
A. Pengertian Rijal al-Hadits
Secara bahasa, kata Rijal
al-Hadits berarti orang-orang di sekitar hadits, sehingga kata ‘Ilmu
Rijal al-Hadits adalah ilmu tentang orang-orang disekitar hadits.
Secara terminologis, Ilmu
Rijal al-Hadits, ialah:
عِلْمُ
يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ اَحْوَالِ الرُّوَاةِ وَ سِيَرِهِمْ مِنَ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِيْنَ وَاَتْبَاعِ التَّابِعِيْنَ
Ilmu pengetahuan yang dalam
pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari
golongan sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.[4]
Ilmu
ini sangat penting kedudukannya dalam ilmu hadits, hal ini karena ada dua objek
kajian hadits yang mendasar, yaitu matan dan sanad. Akan tetapi ilmu rijal
al-hadits hanya memberikan pengertian khusus terhadap persoalan-persoalan
sanad.
Ulama
yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah
al-Bukhari, ‘Izzad bin Ibnu Al-Atsir atau yang lebih dikenal sebutan Ibn
al-Atsir(630 H), ulama abad ke-7 H, yang berhasil menyusun kitab Usdu
al-Ghabah fi Asma ash-Shahabah.[5]
Kitab ini memuat uraian tentang para sahabat Nabi saw, atau rijal al-hadits
pada thabaqah pertama, meskipun didalamnya terdapat nama-nama yang bukan
sahabat.
B. Perbedaan Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarikh
Rijal, Ilmu Thabaqat, dan Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
a.
Ilmu sejarah
perawi adalah ilmu yang membahas tentang hari kelahiran dan wafat perawi.
b.
Ilmu thabaqat
ialah ilmu yang membahas tentang orang-orang berserikat dalam suatu urusan
(orang-orang yang semasa).
c.
Ilmu Jarh wa
at-Ta’dil ialah ilmu yang dengannyadapat kita ketahui siapa
yang diterima dan ditolak dari perawi-perawi hadits.
C. Keadilan Sahabat
Keadilan dalam hal ini
adalah keadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa seluruh itu adalah adil, baik mereka yang
terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat.[6]
Sebagian ulama lain
berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain,
yaitu ada yang adil dan ada pula yang tidak adil. Golongan Mu’tazilah
mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil selain mereka yang terlibat pada
pemdunuhan Khalifah Ali r.a. Imam An-Nawawy mengatakan, bahwa pendapat jumhur
itu telah menjadi ijma’. Oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan
penyelidikan keadilan sahabat, pendapat yng membedakan apakah terlibat dalam
fitnah pembunuhan atau tidak, itu tidak
perlu diperhatikan. Sebaiknya adalah berkhusnudhdhan kepada mereka, agar
terhindar dari dosa.
2.3.
Al-Jarh Wa At-Ta’dil
A. Pengertian
Jarh wa at-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh berarti cacat atau luka, dan
kata at-ta’dil berarti mengendalikan atau menyamakan, sehingga kata ilmu
al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologis, ada ulama yang mendefinisikan secara terpisah
antara al-jarh dan at-ta’dil, namun ada juga yang
mendefinisikannya secara bersamaan.
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan:
اَلْجَرْحُ عِنْدَالْمُحَدِّثِيْنَ الطَّعْنُ فِى رَاوِى الحَدِيْثِ بِمَا
يَسْلُبُ أَوْ يُحِلُّ بَعْدَالَتِهِ أَوْ ضَبْتِهِ
Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi
sehingga mengangkat atau mencacatkan
keadilannya atau kedhabitannya.
Sedangkan At-ta’dil secara bahas berarti at-taswiyah
(menyamakan), sedangkan menurut istilah berarti:[7]
وَالتَّعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَةُ الرَّاوِى وَالْحُكْمَ عَلَي
بِاَنِّهِ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ
Ta’dil
adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumnya bahwa dia adil atau
dhabith.
Ulama ulama lain mendefinisikan Al-jarh dan At-ta’dil
dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمُ يُبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِ
مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَفِي شَاَنِّهِمْ مِمَّا يَشْنِهِمْ أَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ
مَخْصُوْصَةٍ
Ilmu
yang membahas tentang para rawi hadits dari segi yang dapat menunjukan keadaan
mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
membersihkan mereka, dengan lafal tertentu.
Ilmu Jarh Wa At-ta’dil
tumbuh seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits, hal ini bertujuan untuk
mengetahui hadits shahih dan keadaan para perawinya, sehingga ilmu ini mampu
menetapkan kebenaran atau kedustaan seorang rawi sampai mereka dapat membedakan
antara yang diterima dan yang ditolak.
Seorang perawi dapat diterima periwayatannya manakala terdapat
suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang
dampaknya tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut, antara
lain:[8]
a.
Dusta
Dusta
dalam hal ini ialah orang tersebut pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau
beberapa hadis. Dalam pengertian, seorang perawi berbuat dusta terhadap
Rasulullah saw, seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu,
terkecuali dia sudah bertobat.
Dalam
menetapkan kepalsuan hadits yang diriwayatkan oleh yang pernah berdusta adalah
berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan berdasarkan sangkaan. Dalam masalah ini
para ulama berpendapat. Menurut imam Ahmad Abu Bakar al-Humaidi, guru imam
al-Bukhari, riwayatnya tidak dapat diterima, meskipun sudah berbuat. Pendapat ini
dikutip oleh Mudhaafar Al-Sam’any, sedangkan An-Nawawi men-naskh-kan
atau menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.
b.
Tertuduh
berbuat dusta
Tertuduh
berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar dikalangan masyarakat sebagai
orang yang berdusta, periwayatan orang yang tertuduh dapat diterima, apabila ia
betul-betul bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh sebagai pendusta.
c.
Fasik
Fasik yang dimaksud dalam hal ini ialah fasik yang dalam perbuatannya
tampak secara lahiriah, bukan dalam hal i-tiqaiyah, nama periwayatannya tetap
ditolak, sedangkan menurut A. Qadir Hassan dalam bukunya Ilmu Mushthalah
Hadits, beliau menguraikan, bahwa yang dimaksud fasik adalah orang yang
melakukukan dosa-dosa besar dan ma’shiat-ma’shiat besar.[9]
d.
Jahalah
Jahalah adalah orang (perawi) yang tidak diketahui identitasnya, dan ini
menjadi sebuah alasan untuk tidak diterimanya periwayatan, kecuali dari
golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menunjukan kepada
kepercayaan, sseperti dengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya
‘adlu, dan sebagainya.
e.
Ahli
bid’ah
Ahli
bid’ah yaitu perawi yang melakukan bid’ah dalam hal i’tiqad yang
menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak. Orang yang disifati bid’ah
adakalanya tergolong orang yang mengkafirkan dan memfasikkan. Bid’ah yang
mengkafirkan itu haruslah bid’ah yang disepakati oleh semua imam, seperti bid’ah orang-orang rafidhy (pengikut
rafidhah) yang mengatakan bahwa ketuhanan menyusup (bersatu) dalam diri
sayyidina Ali, dan mempercayai bahwa Ali akan kembali ke dunia sebelum hari
kiamat. Bid’ah yang memfasikkan adakalanya sebagai bid’ah yang menyalahi
dasar-dasar sunnah.[10]
Menurut
Fatchur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Mushtahalul Hadits, beliau
mengatakan, bahwa orang yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyi i’tiqad
berlawanan dengan dasar syari’at.
B. Kaidah Jarh
Wa At-Ta’dil
Kaidah Jarh Wa At-Ta’dil ada dua macam, yaitu:
a.
Naqdun
kharijiyyun, yaitu kritik
yang datang dari luar hadits, atau kritik ekstrensik (kritik yang yang
tidak mengenai isi hadits ). Hal ini berdasarkan kepada cara periwayatan,
sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan mereka.
b.
Naqdun
dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits
atau kritik intrinsik. Hal ini
berpautan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih, atau karena tidak ada jalan
keshahihannya, dan apakah karena ketiadaan
keshahihannya.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Sanad merupakan neraca
untuk menimbang shahih atau dla’if-nya suatu hadits. Jika salah
seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau tertuduh dusta, maka
kedudukan hadits itu adalah dhaif, sehingga tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Cabang yang berpangkal
pada sanad ada empat, yaitu;
a. Ilmu Rijal al-Hadits
b. Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil
c. Ilmu Thabaqat
d. Ilmu Tarikh Rijal
3.2. Saran
Semoga
apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada
temen-teman mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan
apa yang sudah penulis paparkan. Kami sangat mengharapkan kritik maupun sarannya
dari teman-teman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang kami susun
ini bisa bermanfaat untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbie ash-Shiedieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Rizki Putra, Semarang, 2002
A.
Qadir
Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Diponegoro, Bandung, 2007
Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, AL-Ma’arif, Bandung, 1974
Sahroni
Sohari, Ulumul Hadits, Galia Indonesia, Bandung, 2010
[1] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: Al-Ma’arif, 1974) halaman
41
[2] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) halaman 131
[3] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Op. Cit. halaman 77
[4] Ibid,
halaman 280
[5] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits, Op. Cit. Halaman 76
[6] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Op. Cit. Halaman 285
[7] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits, Loc. Cit. Halaman 76
[8] Ibid,
halaman 152
[9] A. Qadir
Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007) halaman 453
[10] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009) halaman 280
Tidak ada komentar:
Posting Komentar