MAKALAH
Madzahibul Arba’ah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Pengantar Hukum Islam

Disusun Oleh:
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha
Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik
dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan
kurangnya pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini,
sehingga penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri
dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang
sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantara
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
1.2.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Madzhab
2.2. Sejarah Munculnya Madzhab
2.3. Perbedaan Madzhab
2.4. Hikmah Adanya Ikhtilaf Pendapat
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah khilafiah
merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara
masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana
dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik
itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di
kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak
berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat
dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa
memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية))
“Perbedaan pendapat di
kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
1.2. Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan menambah wawasan kepada para pembaca mengenai
Madzahibul Arba’ah, serta dapat memberikan tambahan referensi bagi para pembaca
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Madzhab
Menurut
bahasa dalam kamus, al-munjid fi al-lughah wa al-‘alam[1],
dijelaskan bahwa madzhab mempunyai dua pengertian:
Pertama, kata madzhab berasal dari kata:
ذَهَبَ
يَذْهَبُ ذَهْبًا وَ ذُهُوْبًا وَمَذْهَبًا (سَارَ, مَضَى, مَاتَ)
Yang memiliki arti, telah berjalan, telah
berlalu, telah mati.
Kedua,
yaitu
(ذَهَبَ)
ذَهْبًا وَ ذُهُوْبًا وَمَذْهَبًا فِى الْمَسْأَلَةِ إِلَى كَذَا: رَأَى فِيْهَا
ذلِكَ الرَّأَى.
(تَمَذْهَبَ) بِالْمَذْهَبِ: اَتْبَعَهُ
(المَذْهَبُ) ج مَذَاهِبُ: المُعْتَمِدُ, الطَّرِيْقَةِ, الْأَصْلُ: مَذْهَبِ
الْإِسْلَامِ أَرْبَعَةِ: (الْحَنَفِيُّ, وَ الْمَلِكِيُّ, وَالشَّافِعِيُّ
وَالْحَنْبَلِيُّ)
Yang
mempunyai arti, sesuatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan
pemikiran. Oleh karena itu,(تَمَذْهَبَ)
bisa berarti mengikuti madzhab (مَذْهَبٌ), kata (مَذْهَبٌ) jamaknya adalah (مَذَاهِب) yang berarti, yang diikuti/dijadikan
pedoman atau metode. Sementara asal pertama madzhab dalam islam hanya ada empat
madzhab, (hanafi, maliki, syafi’i dan hambali).
Secara terminologis, ada beberapa tokoh yang
memberikan pengertian mengenai madzhab
itu sendiri, diantaranya adalah Huzaemah Tahido Yanggo, beliau berpendapat
bahwa madzhab adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau meng-istinbat-kan
hukum Islam. Selanjutnya madzhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok
umat Islam yang mengikuti cara istidlal Imam Madzhab tertentu atau mengikuti
pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam[2].
2.2. Sejarah Munculnya Madzhab
Proses
lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha para murid yang menyebarkan dan
menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya
pembukuan pendapat para imam madzhab, sehingga memudahkan tersebarnya
dikalangan masyarakat karena imam
madzhab tersebut tidak mengklaim sebagai
madzhab. Secara umum, madzhab berkaitan erat dengan nama imam dan tempat[3].
Sejarah
lahirnya madzhab fiqh dimulai dari dua aliran
fiqh, yaitu ahlu ar’yu dan ahlu al-hadits atau dikenal dengan sebutan
madrasah ar’rayu dan madrasah al-hadits.
a.
Madrasah al-hadits dikenal juga dengan madrasah
hijaz dan madrasah al-madinah. Madrasah hijaz dikenal sangat kuat berpegang dengan hadits, karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits rasulullah, disamping itu kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam
berijtihad, karena ulama hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki
budaya homogen.
b.
Madrasah ar-ra’yu dikenal juga dengan madrasah
al-iraq dan madrasah al-kufah.
Madrasah
al-iraq dalam menjawab pemasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam
berijtihad, hal ini disebabkan karena keberadaannya yang jauh dari madinah
sebagai pusat hadits dengan kata lain,
hadits-hadits yang sampai pada mereka terbatas, dan kasus-kasus yang mereka
hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam
perkembangannya, ada 18 madzhab, sebagian diantaranya masih ada dan terus
berkembang sampai sekarang. madzhab tersebut terbagi pada tiga madzhab besar
yang ada sampai sekarang, yaitu;
a. Sunni,
sunni diwakili oleh madzhab hanafi,syafi’i,maliki, dan hambali.
b. Syiah,
syiah terdiri dari zaidiyah, syi’ah imamiyah (ja’fari), dan ismailliyah.
c. Khawarij,
khawarij diwakili oleh madzhab ‘ibadi.
Secara
umum tiap-tiap madzhab memiliki ciri khas tersendiri, hal ini karena para
pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode untuk menggali sebuah
hukum, akan tetapi perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’
bukan masalah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua
sumber atau dasar syariat adalah al-qur’an dan sunnah Nabi. Semua hukum yang
berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan,
mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan
berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.
2.3.
Perbedaan Madzhab
Secara terminologi,
ikhtilaf erat kaitannya dengan pengertian bahasa dan istilah. Secara bahasa,
ikhtilaf artinya perbedaan, perselisihan, dan perdebatan panjang.
Menurut istilah, Thaha
Jabir menjelaskan:
الإختلاف والمخالفة أن ينهج كل شخص طريقا مغايراللاخر فى حاله أو فى قوله.
Artinya: Ikhtilaf atau
mukhalifah, proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seseorang
dengan yang lainnya dalam bentuk
perbuatan atas perkataan[4].
Ikhtilaf pada akhirnya
muncul sebagai ilmu mandiri yang dikenal dengan khilaf dan ilmu khilaf. yaitu
ilmu yang membahas kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang
dilakukan oleh para imam madzhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan
tanpa sandaran yang jelas kepada dalil yang dimaksud (khusus). Adapun yang menjadi tekanan dalam ilmu ini
adalah cara membahas persoalan yang sangat berkaitan dengan validitas,
sebagaimana imam madzhab melakukannya. Selain itu, ilmu ini juga menekankan
cara menetapkan hukum yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh imam madzhab
sebelumnya, dan sekaligus untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan[5].
Faktor-faktor penyebab
ikhtilaf dapat dibagi menjadi empat faktor, yaitu;
a. Bahasa nash al-qur’an atau al-hadits
b. Validitas al-hadits
c. Kaidah ushuliyah
d. Kaidah fiqhiyah
Faktor-faktor tersebut
pada dasarnya bermuara kepada faktor bahasa, yang kemudian menyebabkan
ikhtilaf, baik dari segi ushul atau pun kaidah fiqh. Selain itu problematika
kebahasan melahirkan dua aliran, aliran Ahnaf dan Mutakalimin. Adapun yang
menjadi sorotan ikhtilaf para fuqaha,
sebagian besar adalah ayat-ayat hukum.
Sejarah menunjukan,
kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran yang melanda dirinya sendiri
merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan
persatuan dan penyingkiran sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara
penganut satu din, satu kiblat, dan satu aqidah. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh M. Saltout[6].
Semua ini dapat
terlihat, terutama setelah periode keemasan fiqh. Setelah terlena dan
ternina-bobokan oleh perkembangan fiqh yang begitu pesat, yang akhirnya merasa
tidak perlu lagi melakukan pelacakan hukum, fanatisme muncul sangat kuat,
dimana setiap orang untuk mengamalkan
ajarannya terpaku pada madzhab yang dipegangnya.
Rasyid Ridha dalam
pengantar buku al-mughni karya
Ibnu Qudamah, menyatakan bahwa “para pengikut madzhab yang fanatik menolak
adanya ruang ikhtilaf yang sebenarnya adalah rahmat. Mereka mengharamkan pengikut madzhab untuk
meniru madzhab lain[7].
Banyak fuqaha Hanafiyah yang mengeluarkan fatwa bahwasannya batal shalat
seseorang yang mengikuti madzhab Hanafi, kemudian dia bermakmum kepada pengikut
madzhab Syafi’i.
2.4. Hikmah adanya ikhtilaf pendapat
Secara lughawi hikmah
berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan yang sempurna,
bijaksana, dan suatu yang bergantung kepadanya akibat suatu terpuji. Adapun
secara terminologis adalah suatu motivasi dalam pensyariatan hukum dalam rangka
mencapai suatu kemaslahatan atau menolak suatu kemafsadatan.
Hikmah yang dapat
diambil dari ikhtilaf pendapat tersebut, yaitu:
1.
Berlomba-lomba dalam
hal kebajikan, hal ini terdapat dalam al-qur’an surat al-maidah ayat 48.
2.
Banyaknya karya ulama”
yakni menerima warisan “kumpulan hukum” yang sedemikian lengkap, berisi
petunjuk dalam setiap aspek kehidupan manusia.
3.
Menghargai/menghormati
dan melatih pemahaman untuk mengasah pemikiran demi tercapainya suatu tujuan
yang beraneka ragam, baik yang disandarkan dalam agama, maupun sunnatullah,
yang sifatnya tidak bisa dihindari karena berbagai faktor.
Hikmah perbedaan
pendapat, pada dasarnya adalah sebuah sunnatullah, yang tidak bisa dihindari
karena berbagai faktor. Dalam analisis Huzaemah, tujuan esensi
mengetahui perbedaan itu adalah untuk keluar dari taqlid buta.
Implikasi perbedaan pendapat
dalam kehidupan masyarakat dapat melahirkan dua kemungkinan, yaitu:
1. Perbedaan pendapat yang disertai
kesadaran intelektual yang dilandasi dengan niat yang tulus dan benar, akan
melahirkan individu dan masyarakat yang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
2.
Perbedaan pendapat yang
disertai dengan fanatik yang berlebihan, sehingga beranggapan bahwa pendapatnya
yang benar atau bahkan yang paling benar, pada saat yang sama, yang
bersangkutan memandang bahwa selain
pendapatnya adalah salah, itu merupakan gejala pembentukan firqah (yang
prosesnya disebut tafarruq) yang pada akhirnya menghambat perkembangan umat
islam[8].
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a.
Menjadikan
perbedaan sebagai rahmat
b.
Proses lahirnya madzhab pada
dasarnya adalah usaha para murid yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para
imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam
madzhab, sehingga memudahkan tersebarnya dikalangan masyarakat karena imam madzhab tersebut tidak mengklaim sebagai madzhab.
c.
Dalam perkembangannya ada tiga
madzhab besar yang ada sampai sekarang, yaitu Sunni, Syi’ah, dan Khawarij.
d.
Hikmah perbedaan
pendapat, pada dasarnya adalah sebuah sunnatullah, yang tidak bisa dihindari
karena berbagai faktor.
3.2. Saran
Semoga
apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada
temen-temen mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan
apa yang sudah penulis paparkan. Sehingga teman-teman mau menggali kembali
materi tentang mazhab.
DAFTAR PUSTAKA
(http://kotamedan.wordpress.com/2010/03/04/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/)19:35
Hasan, M. Ali, Perbandingan
Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Huzaemah Tahido Yanggo,
Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.
Dedi supriyadi, Perbandingan
Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
8
[1] . Al-Ab Luwis
Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al’alam, 1986, Beirut Dar Al-Musyriq, hal.
239-240
[2].
Huzaimah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 72
[3] . Dedi
Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung:
Pustaka Setia), Halaman 51
[4]. Thaha Jabir Fayyad
Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, Al-Ma’had Al’alami, (Amerika:
1981), hal. 21
[5].
Thaha Jabir Fayyad Al-Ulwani, op.cit., hlm. 22
[6]. Dedi Supriyadi,
Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf Imam Madzhab Fiqh Perspektif Perbandingan Madzhab, (skripsi), 1995,
Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung DJati Bandung, hlm. 152.
[8]. Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, 2008, Pustaka Setia,
Bandung, hlm. 291
Tidak ada komentar:
Posting Komentar