Laman

Minggu, 06 April 2014

Madzahibul Arba'ah



MAKALAH
Madzahibul Arba’ah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Hukum Islam











Disusun Oleh:
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada  Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini, sehingga penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.













DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantara
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.          Latar Belakang
1.2.          Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Madzhab
2.2. Sejarah Munculnya Madzhab
2.3. Perbedaan Madzhab
2.4. Hikmah Adanya Ikhtilaf Pendapat
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Daftar Pustaka







BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية))
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan  menambah wawasan kepada para pembaca mengenai Madzahibul Arba’ah, serta dapat memberikan tambahan referensi bagi para pembaca











BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Madzhab
Menurut bahasa dalam kamus, al-munjid fi al-lughah wa al-‘alam[1], dijelaskan bahwa madzhab mempunyai dua pengertian:
Pertama, kata madzhab berasal dari kata:
ذَهَبَ يَذْهَبُ ذَهْبًا وَ ذُهُوْبًا وَمَذْهَبًا (سَارَ,  مَضَى, مَاتَ)
Yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
Kedua,  yaitu
(ذَهَبَ) ذَهْبًا وَ ذُهُوْبًا وَمَذْهَبًا فِى الْمَسْأَلَةِ إِلَى كَذَا: رَأَى فِيْهَا ذلِكَ الرَّأَى.
 (تَمَذْهَبَ) بِالْمَذْهَبِ: اَتْبَعَهُ (المَذْهَبُ) ج مَذَاهِبُ: المُعْتَمِدُ, الطَّرِيْقَةِ, الْأَصْلُ: مَذْهَبِ الْإِسْلَامِ أَرْبَعَةِ: (الْحَنَفِيُّ, وَ الْمَلِكِيُّ, وَالشَّافِعِيُّ وَالْحَنْبَلِيُّ)
Yang mempunyai arti, sesuatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan pemikiran.  Oleh karena itu,(تَمَذْهَبَ) bisa berarti mengikuti madzhab (مَذْهَبٌ), kata (مَذْهَبٌ) jamaknya adalah (مَذَاهِب)  yang berarti, yang diikuti/dijadikan pedoman atau metode. Sementara asal pertama madzhab dalam islam hanya ada empat madzhab, (hanafi, maliki, syafi’i dan hambali).
Secara  terminologis, ada beberapa tokoh yang memberikan  pengertian mengenai madzhab itu sendiri, diantaranya adalah Huzaemah Tahido Yanggo, beliau berpendapat bahwa  madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau meng-istinbat-kan hukum Islam. Selanjutnya madzhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istidlal Imam Madzhab tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam[2].
2.2. Sejarah Munculnya Madzhab
Proses lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha para murid yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam madzhab, sehingga memudahkan tersebarnya dikalangan masyarakat  karena imam madzhab tersebut  tidak mengklaim sebagai madzhab. Secara umum, madzhab berkaitan erat dengan nama imam dan tempat[3].
Sejarah lahirnya madzhab fiqh dimulai dari dua aliran  fiqh, yaitu ahlu ar’yu dan ahlu al-hadits atau dikenal dengan sebutan madrasah ar’rayu dan madrasah al-hadits.
a.         Madrasah al-hadits dikenal juga dengan madrasah hijaz dan madrasah al-madinah. Madrasah hijaz dikenal sangat kuat  berpegang dengan hadits, karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits rasulullah, disamping itu kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad, karena ulama hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen.
b.        Madrasah ar-ra’yu dikenal juga dengan madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah.
Madrasah al-iraq dalam menjawab pemasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad, hal ini disebabkan karena keberadaannya yang jauh dari madinah sebagai pusat  hadits dengan kata lain, hadits-hadits yang sampai pada mereka terbatas, dan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dalam perkembangannya, ada 18 madzhab, sebagian diantaranya masih ada dan terus berkembang sampai sekarang. madzhab tersebut terbagi pada tiga madzhab besar yang ada sampai sekarang, yaitu;
a.       Sunni, sunni diwakili oleh madzhab hanafi,syafi’i,maliki, dan hambali.
b.      Syiah, syiah terdiri dari zaidiyah, syi’ah imamiyah (ja’fari), dan ismailliyah.
c.       Khawarij, khawarij diwakili oleh madzhab ‘ibadi.
Secara umum tiap-tiap madzhab memiliki ciri khas tersendiri, hal ini karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode untuk menggali sebuah hukum, akan tetapi perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu’ bukan masalah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah al-qur’an dan sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan, mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat  islam.
2.3.   Perbedaan Madzhab
Secara terminologi, ikhtilaf erat kaitannya dengan pengertian bahasa dan istilah. Secara bahasa, ikhtilaf artinya perbedaan, perselisihan, dan perdebatan panjang.
Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan:
الإختلاف والمخالفة أن ينهج كل شخص طريقا مغايراللاخر فى حاله أو فى قوله.
Artinya: Ikhtilaf atau mukhalifah, proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya dalam bentuk  perbuatan atas perkataan[4].
Ikhtilaf pada akhirnya muncul sebagai ilmu mandiri yang dikenal dengan khilaf dan ilmu khilaf. yaitu ilmu yang membahas kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh para imam madzhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa sandaran yang jelas kepada dalil yang dimaksud (khusus).  Adapun yang menjadi tekanan dalam ilmu ini adalah cara membahas persoalan yang sangat berkaitan dengan validitas, sebagaimana imam madzhab melakukannya. Selain itu, ilmu ini juga menekankan cara menetapkan hukum yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh imam madzhab sebelumnya, dan sekaligus untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan[5].
Faktor-faktor penyebab ikhtilaf dapat dibagi menjadi empat faktor, yaitu;
a.     Bahasa nash al-qur’an atau al-hadits
b.    Validitas al-hadits
c.     Kaidah ushuliyah
d.    Kaidah fiqhiyah
Faktor-faktor tersebut pada dasarnya bermuara kepada faktor bahasa, yang kemudian menyebabkan ikhtilaf, baik dari segi ushul atau pun kaidah fiqh. Selain itu problematika kebahasan melahirkan dua aliran, aliran Ahnaf dan Mutakalimin. Adapun yang menjadi sorotan ikhtilaf  para fuqaha, sebagian besar adalah ayat-ayat hukum.
Sejarah menunjukan, kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran yang melanda dirinya sendiri merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai menyerukan persatuan dan penyingkiran sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara penganut satu din, satu kiblat, dan satu aqidah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh M. Saltout[6].
Semua ini dapat terlihat, terutama setelah periode keemasan fiqh. Setelah terlena dan ternina-bobokan oleh perkembangan fiqh yang begitu pesat, yang akhirnya merasa tidak perlu lagi melakukan pelacakan hukum, fanatisme muncul sangat kuat, dimana setiap orang  untuk mengamalkan ajarannya terpaku pada madzhab yang dipegangnya.
Rasyid Ridha dalam pengantar  buku al-mughni karya Ibnu Qudamah, menyatakan bahwa “para pengikut madzhab yang fanatik menolak adanya ruang ikhtilaf yang sebenarnya adalah rahmat.  Mereka mengharamkan pengikut madzhab untuk meniru madzhab lain[7]. Banyak fuqaha Hanafiyah yang mengeluarkan fatwa bahwasannya batal shalat seseorang yang mengikuti madzhab Hanafi, kemudian dia bermakmum kepada pengikut madzhab Syafi’i.
2.4.  Hikmah adanya ikhtilaf pendapat
Secara lughawi hikmah berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan yang sempurna, bijaksana, dan suatu yang bergantung kepadanya akibat suatu terpuji. Adapun secara terminologis adalah suatu motivasi dalam pensyariatan hukum dalam rangka mencapai suatu kemaslahatan atau menolak suatu kemafsadatan.
Hikmah yang dapat diambil dari ikhtilaf pendapat tersebut, yaitu:
1.        Berlomba-lomba dalam hal kebajikan, hal ini terdapat dalam al-qur’an surat al-maidah ayat 48.
2.        Banyaknya karya ulama” yakni menerima warisan “kumpulan hukum” yang sedemikian lengkap, berisi petunjuk dalam setiap aspek kehidupan manusia.
3.        Menghargai/menghormati dan melatih pemahaman untuk mengasah pemikiran demi tercapainya suatu tujuan yang beraneka ragam, baik yang disandarkan dalam agama, maupun sunnatullah, yang sifatnya tidak bisa dihindari karena berbagai faktor.
Hikmah perbedaan pendapat, pada dasarnya adalah sebuah sunnatullah, yang tidak bisa dihindari karena berbagai faktor. Dalam analisis Huzaemah, tujuan esensi mengetahui perbedaan itu adalah untuk keluar dari taqlid buta.
Implikasi perbedaan pendapat dalam kehidupan masyarakat dapat melahirkan dua kemungkinan, yaitu:
1.      Perbedaan pendapat yang disertai kesadaran intelektual yang dilandasi dengan niat yang tulus dan benar, akan melahirkan individu dan masyarakat yang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
2.        Perbedaan pendapat yang disertai dengan fanatik yang berlebihan, sehingga beranggapan bahwa pendapatnya yang benar atau bahkan yang paling benar, pada saat yang sama, yang bersangkutan  memandang bahwa selain pendapatnya adalah salah, itu merupakan gejala pembentukan firqah (yang prosesnya disebut tafarruq) yang pada akhirnya menghambat perkembangan umat islam[8].




BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
a.         Menjadikan perbedaan sebagai rahmat
b.        Proses lahirnya madzhab pada dasarnya adalah usaha para murid yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam madzhab, sehingga memudahkan tersebarnya dikalangan masyarakat  karena imam madzhab tersebut  tidak mengklaim sebagai madzhab.
c.         Dalam perkembangannya ada tiga madzhab besar yang ada sampai sekarang, yaitu Sunni, Syi’ah, dan Khawarij.
d.        Hikmah perbedaan pendapat, pada dasarnya adalah sebuah sunnatullah, yang tidak bisa dihindari karena berbagai faktor.
3.2. Saran
Semoga apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada temen-temen mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan apa yang sudah penulis paparkan. Sehingga teman-teman mau menggali kembali materi tentang  mazhab.
















DAFTAR PUSTAKA
(http://kotamedan.wordpress.com/2010/03/04/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/)19:35
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.
Dedi supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008

















8







[1] . Al-Ab Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al’alam, 1986, Beirut Dar Al-Musyriq, hal. 239-240
[2]. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997) hlm. 72
[3] . Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia), Halaman 51
[4].  Thaha Jabir Fayyad Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, Al-Ma’had Al’alami, (Amerika: 1981), hal. 21
[5]. Thaha Jabir Fayyad Al-Ulwani, op.cit., hlm. 22

[6].  Dedi Supriyadi, Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf Imam Madzhab Fiqh Perspektif  Perbandingan Madzhab, (skripsi), 1995, Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung DJati Bandung, hlm. 152.
[7].  Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Riyadh, hlm. 18

[8].  Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, 2008, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 291

Tidak ada komentar:

Posting Komentar