Laman

Kamis, 16 Oktober 2014

Pendidikan Berdasarkan Pengalaman

MAKALAH
PENDIDIKAN BERDASARKAN PENGALAMAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
TEORI PENDIDIKAN KRITIS


 












Disusun  Oleh
M. Bakhrudin
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
Kota Cirebon-Jawa Barat
2013
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada  Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingg akhir zaman, Amiin.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun dari cara penulisannya, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan salah satu kendala dalam pengerjaan makalah ini, sehingga penulis merasa bahwa makalah ini masih jauh dalam bentuk kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya buat penulis sendiri dan juga pembaca pada umumnya, penulis mengharapkan saran dan kritk yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya bisa lebih baik.











DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB I PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pendidikan dan Pengalaman
2.2. Pendidikan Berbasis Pengalaman
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Belajar dari pengalaman merupakan hal yang tidak mudah dilakukan, apabila kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang sudah di alami tentunya kita termasuk orang yang dapat mengambil sisi baik dari suatu peristiwa untuk kemudian dapat dijadikan suatu pelajaran yang dapat memberikan dukungan untuk kehidupan di masa mendatang.
Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang dimasa lalu atau masa yang sudah lampau, setiap orang tentunya mengalami peristiwa yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan sosial, dan permasalahan yang dialami.
Jhon Dewey adalah salah seorang tokoh pendidikan yang menciptakan pola pendidikan partisipatif, dimana metode belajar yang dilakukan dalam pembelajaran disesuaikan dengan kondisi pengalaman di masyarakat yang sedang dialami, bertujuan agar siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses pendidikan dan lebih mengoptimalkan sumber daya yang ada pada diri siswa.
Pendapat bahwa pendidikan berlangsung secara alami yang berlangsung pada masyarakat itu sendiri, memiliki nilai dan makna membimbing karena kebiasaan hidup yang dialami oleh generasi lama tidak akan sama dengan yang dialami oleh generasi berikutnya, itulah sebagai tanda perkembangan peradaban masyarakat yang terjadi secara alami.
Bagi Jhon Dewey, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri untuk itu Jhon Dewey menarik garis pengalaman sebagai bagian yang penting dalam proses pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
1.             Apa yang dimaksud dengan pendidikan dan pengalaman?
2.             Bagaiman pengalaman menjadi dasar pendidikan?
1.3. Tujuan Penulisan
1.             Untuk mengetahui apa itu pendidikan dan pengalaman
2.             Untuk mengetahui bagaimana pengalaman dapat menjadi dasar pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Pendidikan  dan Pengalaman
Menurut John Dewey, pendidikan adalah proses kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
Sedangkan pengalaman menurut sudarminta adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa saja  yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial, dan dengan seluruh kenyataan. Pengalaman manusia terus bertambah, dan tumbuh seiring dengan bertambahnya usia, kesempatan dan tingkat kedewasaan manusia. Dengan mengalami aneka ragam hal dalam hidupnya, pengalaman manusia bertambah, seiring dengan bertambahnya usia dan tersedianya sebuah kesempatan, maka anak akan mengalami banyak hal baru yang bertambah.
Tambahan pengalaman tidak sekedar menjadi  tumpukan pengalaman, tetapi dapat terjadi suatu perpaduan yang memperkaya dan menumbuhkan pribadi yang mengalami, meskipun hal itu  tidak terjadi begitu saja.
Satu hal yang ditekankan oleh John Dewey adalah semua pendidikan yang sejati muncul melalui pengalaman, tetapi tidaklah berarti jika semua pengalaman itu murni dan sama-sama mendidiknya.[1]
Ketika pengalaman akan dijadikan sebagai dasar pendidikan, maka kita perlu mencari apa yang menjadi prinsip dari pendidikan, karena pada dasarnya prinsip itu terlibat dalam setiap usaha untuk membeda-bedakan berbagai macam pengalaman. Diantara prinsip yang diungkapkan oleh john Dewey adalah prinsip kerbelanjutan, pada dasarnya prinsip ini bertumbuh di atas kebiasaan. Ini terjadi karena orang yang di kemudian hari memasuki pengalaman-pengalaman baru, dalah orang yang agak berbeda dari orang yang dulu memasuki pengalaman-pengalaman lama.
Prinsip kebiasaan ini lebih mendalam ketimbang konsepi yang sering kita dengar, dimana kebiasaan dianggap sebagai cara melakukan tindakan yang kurang lebih, sudah mantap, pasti, dan takkan bergeming. Kebiasaan meliputi pembentukan sikap, baik sikap yang bersifat emosional maupun yang bersifat intelektual, ha ini mencakup kepekaan-kepekaan dasar kita dan cara kita menghadapi dan menanggapi semua kondisi kehidupan.
Dari sudut  pandang ini, prinsip keberlanjutanpengalam berarti setiap pengalaman mengambil sesuatu dari apa yang sudah diperoleh sebelumnya, sekaligus mengubah sesuatu dalam kualitas pengalaman yang akan datang.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Situasi-situasi silih berganti karena adanya prinsip keberlanjutan, hal ini disebabkan adanya sesuatu yang dibawa dari situasi terdahulu ke situasi sekarang, dan situasi sekarang akan dibawa kesituasi nanti.
Pengetahuan dan keterampilan apa yang telah ia pelajari disituasi sekarang, akan menjadi alat untuk memahami dan manangani situasi kelak secara efektif.[2] Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna, tanpa ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan. Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu.
2.2.       Pendidikan Berbasis Pengalaman
Berdasarkan uraian tersebut, pendidikan berbasis pengalaman memiliki pengertian bahwa belajar akan mencapai tujuan apabila diilustrasikan dengan berbagai kejadian nyata dan dengan keterlibatan secara menyeluruh yang sesuai dengan aktivitas anak itu sendiri. Membangun inisiatif dari dalam diri peserta didik adalah cara yang paling efektif untuk menghantarkan keberhasilan mereka menuju kedewasaan, mengeksplorasi berbagai potensi, reaktif terhadap perubahan, tumbuhannya sikap positif, dan lain sebagainya. Karena proses belajar adalah berpikir, berbuat, bergerak, dan memperkaya pengalaman.
Selain itu paradigma pendidikan berbasis pengalaman yang dibangun Dewey adalah mengubah pola hubungan monolog dengan hubungan dialogis, dimana nilai yang dibangun antara murid dan guru adalah keakraban. Dalam proses pendidikan ini anak-anak diberikan ruang gerak berkreativitas, berekspresi dan melakukan hal-hal yang positif, serta ruang gerak yang luas untuk berpikir dan berhasrat, karena kondisi ini justru menumbuhkan potensi anak untuk berpikir mandiri serta mengembangkan daya nalarnya.
Pendidikan berbasis pengalaman lebih memusatkan orientasi pada anak dan memandangnya sebagai subjek pendidikan, sebagaimana yang dikatakan John Locke:
“Anak bukanlah kertas kosong yang diatasnya akan terdapat goresan tinta sebagaimana orang dewasa inginkan, karena anak adalah subjek yang hidup dan memiliki keunikan-keunikan tertentu” (yang juga dikenal dengan teori tabularasa).”
Kerena itu, peranan para pendidik dalam hal ini sangat besar, pendidiklah yang mempunyai andil relatif besar dalam pembentukan karakteristik anak, dengan asumsi bahwa pengalaman individu selama masa perkembangannya sangat mempengaruhi sikap dan perilaku siswa dalam kehidupannya sehari-hari.
Prinsip keberlanjutan berlaku dalam suatu bentuk di tiap kasus, tapi mutu  pengalaman yang dijalani saat ini mempengaruhi cara penerapan prinsip itu sendiri. Disisi lain, jika sebuah pengalaman menggugah rasa ingin tahu, memperkuat inisiatif, dan menetapkan hasrat-hasrat  serta tujuan yang cukup mendalam untuk membawa  seseorang melewati tempat-tempat yang terjal di masa depan tanpa berhenti berjuang, maka keberlanjutan beroperasi dalam cara yang berbeda.
Tiap pengalaman adalah penggerak, nilai pengalaman hanya bisa dilihat dari ke arah mana dan ke dalam apa ia bergerak. Kematangan pengalaman mestinya menjadi milik seorang manusia dewasa, ia mampu menempatkan dirinya diposisi tertentu dimana ia mampu mengevaluasi tiap pengalaman seorang anak dalam cara dia. Ini adalah urusan pendidik untuk mengetahui ke arah mana pengalaman anak.
Diantara segenap kesulitan, kebutuhan akan guru-guru dan orang tua murid yang punya kemampuan seperti itulah yang menyebabkan sistem penidikan berdasar pengalaman hidup jadi sulit dijalankan secara sukses, dan lebih gampang mengikuti pendidikan tradisional.
Tanggung jawab seorang pendidik,  bukan hanya mengikuti prinsip umum pembentukan pengalaman aktual lewat pengkondisian lingkungan, tapi jug mengenali secara konkret kondisi-kondisi lingkungan yang macam apa yang dapat membantu melancarkan jalan pertumbuhan lebih lanjut. Diatas segalanya, para pendidik harus memanfaatkan lingkungan fisik dan sosial yang ada sehingga saripatinya disumbangkan ke pembentukan pengalaman yang berharga.
BAB III
PENUTUP

3.1.        Kesimpulan
Pendidikan berbasis pengalaman memiliki pengertian bahwa belajar akan mencapai tujuan apabila diilustrasikan dengan berbagai kejadian nyata dan dengan keterlibatan secara menyeluruh yang sesuai dengan aktivitas anak itu sendiri. Membangun inisiatif dari dalam diri peserta didik adalah cara yang paling efektif untuk menghantarkan keberhasilan mereka menuju kedewasaan, mengeksplorasi berbagai potensi, reaktif terhadap perubahan, tumbuhannya sikap positif, dan lain sebagainya. Karena proses belajar adalah berpikir, berbuat, bergerak, dan memperkaya pengalaman.
3.2.        Saran
Semoga apa yang penulis uraikan diatas, dapat menambah sedikit wawasan kepada temen-teman mahasiswa, dan saya berharap teman-teman tidak merasa puas dengan apa yang sudah penulis paparkan. Kami sangat mengharapkan kritik maupun sarannya dari teman-teman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang kami susun ini bisa bermanfaat untuk kita semua.












DAFTAR PUSTAKA

Sudarminta, J. Epistemologi dasar, pengantar filasat pengetahuan, (yogyakarta; karisius, 2003)
Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)



[1] Sudarminta, J. Epistemologi dasar, pengantar filasat pengetahuan, (yogyakarta; karisius, 2003), hal 32
[2] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar